http://lpmprojustitia.blogspot.com/search/label/Sastra
“Ibu, kenapa semua orang di dunia ini jahat?”
Aru selalu bertanya pada ibunya semua yang terjadi dalam hidupnya.
“Ibu, kenapa semua teman-temanku selalu berebut mainan?”
“Ibu, kenapa aku selalu dimarahi guru jika aku mengerjakan sesuatu yang aku sukai disaat aku harus mengikuti pelajaran di kelas?”
“Ibu, kenapa karena aku naik sepeda butut dan teman-temanku naik mobil lantas aku dijauhi oleh mereka?”
“Ibu, kenapa karena aku hanya membawa bekal nasi dan kangkung ke sekolah lantas mereka tidak mau makan siang bersamaku?”
“Ibu, kenapa karena aku berbeda dari mereka maka mereka tak ingin berteman denganku?”
Tapi ibu tak pernah menjawab pertanyaannya
“Ibu, kenapa karena aku hanya memakai sepatu bekas lantas aku tidak boleh mendekati wanita yang aku sukai?”
“Ibu, kenapa karena aku tidak pintar dalam nilai sekolahku lantas aku dijauhi padahal aku mahir memainkan peran saat pelajaran kesenian?”
“Ibu, kenapa guruku membenciku dan tak pernah memberiku nilai lebih dari 4 hanya karena aku selalu punya pendapat sendiri?”
“Ibu, kenapa mereka selalu menganggapku aneh hanya karena aku menyendiri ditengah hiruk pikuk keriuhan mereka?”
Dan lagi-lagi ibu tak pernah menjawab pertanyaan Aru.
Hingga akhirnya Aru tak pernah menanyakan lagi “kenapa” tentang hidupnya yang berbeda.
Ibu merasa heran kenapa Aru tak lagi pernah mempertanyakan apa yang terjadi dalam hidupnya.
Hingga suatu hari ibu melihat Aru sedang berbicara pada seseorang dibalik jendela kamarnya yang menghadap ke kebun jagung yang hampir panen. Aru terlihat senang bicara pada temannya itu.
Beberapa kali ibu melihat tingkah laku Aru yang seperti itu, berbincang dengan temannya dari balik jendela kamarnya tentang “kenapa” kehidupannya hari ini.
Ibu baru mengerti kenapa Aru tak lagi pernah menanyakan “kenapa” tentang hidupnya hari ini. Ya, karena kelihatannya Aru sudah punya teman yang dapat menjawab setiap pertanyaannya.
Lama-kelamaan ibu penasaran siapa teman Aru yang selalu ia ajak bicara dibalik jendela kamarnya itu.
Disore yang sunyi dengan gerimis yang menyapa bumi, dengan bau tanah yang diguyur air, dengan lampu yang remang karena rumah Aru memang terletak jauh dari kota yang gemerlap dengan lampu hingga menjadikan malam terlihat seperti siang, ibu bertanya pada Aru.
“Siapakah teman yang selalu kau ajak bicara tentang “kenapa” yang terjadi dalam hidupmu itu setiap hari nak? Sampai-sampai kau tak lagi pernah bertanya pada ibu?”
“Sebenarya aku agak kecewa pada ibu yang tak pernah menjawab pertanyaanku, sampai akhirnya aku mendapatkan teman yang dapat aku ajak berbincang tentang kenapa hidupku hari ini. Aku senang sekali bu karena temanku itu selalu menjawab pertanyaanku-pertanyaanku dengan jawaban yang aku inginkan!!”
“Lalu siapa teman yang kau senangi itu nak?”
“Dia adalah aku bu…” dengan air muka yang riang.
Didalam hatinya ibu membatin “Aru, ibu bersyukur karena kau sekarang bahagia bersama dirimu sendiri dan tidak lagi merasa kalau kau berbeda karena sebenarnya kau memang tak boleh berbeda.”
Ibu tak pernah menjawab pertanyaannya karena ibu tak ingin menghancurkan hatinya karena ia tak boleh berbeda.
Ibu sangat menyayangi Aru melebihi hidupnya sendiri, ibu lebih tenang melihat anaknya bahagia hidup hanya bersamanya dan teman bicaranya dirumah yang reot dengan lampu yang remang itu daripada harus melihat anaknya hidup diluar sana tapi selalu dianggap berbeda.
_dhien_
“Ibu, kenapa semua orang di dunia ini jahat?”
Aru selalu bertanya pada ibunya semua yang terjadi dalam hidupnya.
“Ibu, kenapa semua teman-temanku selalu berebut mainan?”
“Ibu, kenapa aku selalu dimarahi guru jika aku mengerjakan sesuatu yang aku sukai disaat aku harus mengikuti pelajaran di kelas?”
“Ibu, kenapa karena aku naik sepeda butut dan teman-temanku naik mobil lantas aku dijauhi oleh mereka?”
“Ibu, kenapa karena aku hanya membawa bekal nasi dan kangkung ke sekolah lantas mereka tidak mau makan siang bersamaku?”
“Ibu, kenapa karena aku berbeda dari mereka maka mereka tak ingin berteman denganku?”
Tapi ibu tak pernah menjawab pertanyaannya
“Ibu, kenapa karena aku hanya memakai sepatu bekas lantas aku tidak boleh mendekati wanita yang aku sukai?”
“Ibu, kenapa karena aku tidak pintar dalam nilai sekolahku lantas aku dijauhi padahal aku mahir memainkan peran saat pelajaran kesenian?”
“Ibu, kenapa guruku membenciku dan tak pernah memberiku nilai lebih dari 4 hanya karena aku selalu punya pendapat sendiri?”
“Ibu, kenapa mereka selalu menganggapku aneh hanya karena aku menyendiri ditengah hiruk pikuk keriuhan mereka?”
Dan lagi-lagi ibu tak pernah menjawab pertanyaan Aru.
Hingga akhirnya Aru tak pernah menanyakan lagi “kenapa” tentang hidupnya yang berbeda.
Ibu merasa heran kenapa Aru tak lagi pernah mempertanyakan apa yang terjadi dalam hidupnya.
Hingga suatu hari ibu melihat Aru sedang berbicara pada seseorang dibalik jendela kamarnya yang menghadap ke kebun jagung yang hampir panen. Aru terlihat senang bicara pada temannya itu.
Beberapa kali ibu melihat tingkah laku Aru yang seperti itu, berbincang dengan temannya dari balik jendela kamarnya tentang “kenapa” kehidupannya hari ini.
Ibu baru mengerti kenapa Aru tak lagi pernah menanyakan “kenapa” tentang hidupnya hari ini. Ya, karena kelihatannya Aru sudah punya teman yang dapat menjawab setiap pertanyaannya.
Lama-kelamaan ibu penasaran siapa teman Aru yang selalu ia ajak bicara dibalik jendela kamarnya itu.
Disore yang sunyi dengan gerimis yang menyapa bumi, dengan bau tanah yang diguyur air, dengan lampu yang remang karena rumah Aru memang terletak jauh dari kota yang gemerlap dengan lampu hingga menjadikan malam terlihat seperti siang, ibu bertanya pada Aru.
“Siapakah teman yang selalu kau ajak bicara tentang “kenapa” yang terjadi dalam hidupmu itu setiap hari nak? Sampai-sampai kau tak lagi pernah bertanya pada ibu?”
“Sebenarya aku agak kecewa pada ibu yang tak pernah menjawab pertanyaanku, sampai akhirnya aku mendapatkan teman yang dapat aku ajak berbincang tentang kenapa hidupku hari ini. Aku senang sekali bu karena temanku itu selalu menjawab pertanyaanku-pertanyaanku dengan jawaban yang aku inginkan!!”
“Lalu siapa teman yang kau senangi itu nak?”
“Dia adalah aku bu…” dengan air muka yang riang.
Didalam hatinya ibu membatin “Aru, ibu bersyukur karena kau sekarang bahagia bersama dirimu sendiri dan tidak lagi merasa kalau kau berbeda karena sebenarnya kau memang tak boleh berbeda.”
Ibu tak pernah menjawab pertanyaannya karena ibu tak ingin menghancurkan hatinya karena ia tak boleh berbeda.
Ibu sangat menyayangi Aru melebihi hidupnya sendiri, ibu lebih tenang melihat anaknya bahagia hidup hanya bersamanya dan teman bicaranya dirumah yang reot dengan lampu yang remang itu daripada harus melihat anaknya hidup diluar sana tapi selalu dianggap berbeda.
_dhien_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar